Adik Merenggut Nyawa Kakak Kandung Di Pamulang, Diduga Karena Warisan

Adik Merenggut Nyawa Kakak – Pamulang kembali diguncang tragedi. Bukan karena kejahatan jalanan atau aksi kriminal terorganisir, tapi karena darah yang tumpah dari pertikaian antara dua saudara kandung. Di sebuah rumah sederhana di Jalan Raya Siliwangi, suara jeritan dan bentakan memecah malam sebelum akhirnya sunyi sunyi yang menyeramkan. Seorang adik, yang seharusnya menjadi pelindung satu sama lain dalam keluarga, justru menghabisi nyawa kakaknya sendiri. Motifnya? Warisan.

Kronologi Adik Merenggut Nyawa Kakak

Menurut keterangan warga sekitar, pertengkaran di rumah tersebut bukan hal baru. Sejak kedua orang tua mereka meninggal setahun lalu depo 10k, kedua bersaudara ini kerap terlibat adu mulut yang berujung kekerasan fisik. Namun tidak ada yang menyangka, peristiwa malam itu akan menjadi yang terakhir bagi sang kakak.

Saksi mata, seorang tetangga yang enggan di sebutkan namanya, mengatakan mendengar suara pecahan kaca dan bentakan keras dari dalam rumah sekitar pukul 21.30 WIB. Tak lama berselang, ia melihat si adik keluar rumah dengan tangan berlumuran darah. Sementara itu, sang kakak di temukan terkapar bersimbah darah di ruang tamu dengan luka tikaman di dada dan leher.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di njascs.org

Polisi yang datang ke lokasi langsung mengamankan pelaku dan melakukan olah TKP. Dari hasil penyelidikan awal, di temukan sebilah pisau dapur yang diduga digunakan untuk menghabisi nyawa korban. Yang membuat publik semakin geram, pelaku tidak menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun saat digelandang ke kantor slot gacor.

Api Cemburu dan Keserakahan: Warisan Jadi Pemicu Utama

Sumber dari kepolisian menyebutkan bahwa konflik utama di balik tragedi ini adalah soal pembagian harta warisan orang tua mereka. Sang kakak yang lebih tua dan selama ini mengurus rumah serta aset keluarga di duga tidak bersedia membagi rata warisan berupa sebidang tanah dan satu rumah dengan adiknya.

Si adik, yang merasa diperlakukan tidak adil, menyimpan amarah selama berbulan-bulan. Kecewa, sakit hati, dan diliputi rasa iri, pelaku akhirnya mengambil keputusan paling keji: membunuh kakak kandungnya sendiri.

Warisan yang seharusnya menjadi pengikat cinta keluarga, justru menjadi pemicu kehancuran. Publik bertanya-tanya, sampai di mana manusia rela melupakan darah dagingnya sendiri hanya demi sepetak tanah?

Reaksi Masyarakat: Amarah dan Ketakutan

Warga sekitar mengaku terguncang. Beberapa bahkan menyebut peristiwa ini sebagai “kutukan warisan”. Bagaimana tidak? Dalam satu malam, dua nyawa hancur: satu melayang, satu lagi akan menghabiskan hidupnya di balik jeruji besi.

“Dia anak baik, dulu sering bantu tetangga. Tapi setelah orang tuanya meninggal, dia berubah. Seperti ada api di matanya setiap kali ngomongin warisan,” ujar seorang warga yang mengenal pelaku sejak kecil.

Tak sedikit warga yang kini mengaku takut dan resah, terutama mereka yang memiliki persoalan serupa dalam keluarga. Tragedi ini seolah menjadi cermin retak dari realitas pahit: bahwa keluarga pun bisa menjadi musuh paling berbahaya ketika uang dan harta masuk di antara mereka.

Penegak Hukum Bertindak: Pembunuhan Berencana?

Kapolsek Pamulang dalam keterangannya menyebut bahwa pelaku kini di tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Ada indikasi kuat bahwa pembunuhan ini telah di rencanakan, mengingat pelaku sempat membeli pisau baru beberapa hari sebelum kejadian dan mencari informasi tentang titik-titik lemah tubuh manusia di internet.

Jika terbukti sebagai pembunuhan berencana, pelaku bisa di jerat dengan Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Pihak keluarga besar pun terpecah. Beberapa membela korban dan menuntut keadilan secepatnya, sementara sebagian lainnya justru meminta agar pelaku di beri kesempatan untuk menjelaskan motif sebenarnya.

Rumah Duka Jadi Simbol Luka

Hari itu, rumah duka di penuhi pelayat yang datang dengan wajah muram. Isak tangis terdengar dari setiap sudut ruangan. Namun lebih dari itu, keheningan yang menyelimuti suasana memberi pesan tersendiri: bahwa luka ini bukan hanya milik satu keluarga, tapi juga milik masyarakat yang menyaksikan kehancuran nilai kekeluargaan di depan mata mereka.